Akhir-akhir ini, kinerja wakil rakyat kita sering mendapat sorotan. Mereka dianggap tidak mampu memperjuangkan aspirasi yang dititipkan padanya. Suara-suara itu—dari waktu ke waktu makin masif—mengindikasikan suatu ketidakpuasan. Jika sudah sampai pada titik nadir, dikhawatirkan terjadinya suatu “ledakan” ketidakpercayaan yang berefek pada gagalnya negara. Lihat saja misalnya, keinginan “pembubaran” lembaga negara yang sudah lebih dari cukup menjadi warning yang harus diseriusi. Jika sudah begini, bagaimana seharusnya wakil rakyat bersikap?
Munculnya belahan sosial baru
Tumbuhnya media jejaring sosial—blog, facebook, twitter, dll—menjadi fenomena baru yang mengejutkan. Ini didorong oleh infrastruktur teknologi informasi—dari hulu sampai hilir—yang tumbuh pesat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Tidak heran, Indonesia tercatat sebagai pengguna facebook kedua terbesar, dan negara dengan pengguna twitter paling aktif di dunia.
Kondisi itu mendorong munculnya komunitas-komunitas virtual yang terorganisir dan makin punya peranan. Lewat media sosial yang terkoneksi satu sama lain, mereka secara all out menyalurkan aspirasinya. Lihat, misalnya, kasus cicak-buaya dan kasus Prita-Omni yang mampu mendorong gerakan sosial di jalan-jalan.
Pelbagai komunitas itu, kemudian, mewujud menjadi belahan sosial baru, yang tersusun atas individu dengan karakteristik: muda, terdidik, independent, dan menguasai informasi. Mereka mampu memproduksi gagasan revolusioner yang berpengaruh kuat pada setiap proses pengambilan keputusan publik. Mereka berfungsi sebagai motor penggerak dan conveyor informasi dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Pada konteks politik, situasi ini memberi dua efek sekaligus: pertama, meluasnya pengawasan masyarakat atas keputusan-keputusan penting negara; kedua, mengerutnya peran pemerintah yang tidak perlu. Ini membuktikan bahwa partisipasi masyarakat makin nampak dalam berbagai aspek. Kondisi ini akan menguatkan kembali fungsi-fungsi refresentasi yang mulai gagal, akibat politik transaksi dan koalisi kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Menguatkan peran DPD RI
Kelemahan mendasar DPD RI terletak pada terbatasnya kewenangan dalam legislasi, sehingga berbagai aspirasi di daerah tidak mampu dieksekusi secara maksimal. Betapapun anggota DPD telah berusaha menggolkan RUU tertentu yang menjadi keinginan daerah, akhirnya, tidak lebih dari “sampah” yang tak ada gunanya.
Seandainya saya menjadi anggota DPD RI, maka yang menjadi fokus saya adalah memperkuat peran DPD RI walau dengan kewenangan yang terbatas itu. Sehingga, terjadi mekanisme check and balances yang berimbang dan terwujudnya fungsi-fungsi refresentasi yang serius. Caranya adalah melibatkan (secara maksimal) peran masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Pelibatan tersebut memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, yang memberdayakan kekuatan belahan sosial baru sebagai kelompok pendukung dan penekan, yang bersama-sama, memberi pengawasan atas proses politik pengambilan keputusan. Saya membayangkan—khususnya di Dapil saya—terbangun pusat-pusat informasi sampai level desa/kelurahan, yang digerakkan oleh aktivis muda-terdidik, yang akan terus memberikan feed back atas kerja-kerja di DPD.
Di sinilah, menurut saya, momentum awal yang membuka dan mewujudkan cita-cita pembangunan yang partisipatif, di mana masyarakat yang dimotori oleh belahan sosial baru berperan aktif. Setiap materi, pandangan, sampai pengambilan keputusan di DPD akan diwarnai secara dominan oleh aspirasi masyarakat di daerah. Yang, tentunya—dengan memanfaatkan kekuatan belahan sosial baru—akan menghasilkan dukungan maksimal dalam setiap proses politiknya di DPR. Jadi, meski dengan kewenangan yang terbatas—tapi dengan dukungan publik yang masif—akan terjadi peran politik DPD yang berarti.
Oleh
Tomy Ishak